Assalaamualaikum warrahmatullahi wabarakaatuh.
Artikel di bawah ini kami kami terima dari Bpk Ary Gafur, yang patut juga di ketahui oleh segenap kaum muslim pengunjung blog ini.
(Tanpa di edit)
Ibnu Hajar dan Imam Nawawi Vs Bin Baz Tentang Hukum Isbal
Artikel di bawah ini kami kami terima dari Bpk Ary Gafur, yang patut juga di ketahui oleh segenap kaum muslim pengunjung blog ini.
(Tanpa di edit)
Ibnu Hajar dan Imam Nawawi Vs Bin Baz Tentang Hukum Isbal
Perbedaan pendapat tentang isbal memang
sudah lama ada, bukan sebuah hal yang qath'i, meski ada sebagian kalangan yang
agaknya tetap memaksakan pendapatnya. Hal itu wajar dan kita harus berlapang
dada.
Walaupun sesungguhnya perbedaan pendapat
itu tidak bisa dipungkiri. Sebagian mengatakan bahwa memanjangkan kain atau
celana di bawah mata kaki hukumnya mutlak haram, apapun motivasinya. Namun
sebagian lainnya mengatakan tidak mutlak haram, karena sangat tergantung
motivasi dan niatnya.
1. Pendapat Yang Mengatakan
Mutlak Haram
Tidak sulit untuk mencari literatur
pendapat yang mengharamkan isbal secara mutlak. Fatwa-fatwa dari kalangan ulama
Saudi umumnya cenderung memutlakkan keharaman isbal. Kalau boleh disebut
sebagai sebuah contoh, ambillah misalnya fatwa Syeikh Bin Baz rahimahullah. Jelas dan tegas sekali beliau mengatakan bahwa isbal itu haram, apapun
alasannya. Dengan niat riya' atau pun tanpa niat riya'. Pendeknya, apapun
bagian pakaian yang lewat dari mata kaki adalah dosa besar dan menyeret
pelakunya masuk neraka.
Beliau amat serius dalam masalah ini,
sampai-sampai fatwa beliau yang paling terkenal adalah masalah keharaman mutlak
perilaku isbal ini. Setidaknya, fatwa inilah yang selalu dan senantiasa
dicopy-paste oleh para murid dan pendukung beliau, sehingga memenuhi ruang-ruang
cyber di mana-mana. Berikut ini adalah salah satu petikan fatwa beliau:
Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa
sarung maka tempatnya di Neraka " [Hadits Riwayat
Bukhari dalam sahihnya]
"Ada tiga golongan yang tidak akan
dilihat oleh Allah di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari
dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil),
pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah
palsu." (HR Muslim)
Kedua hadits ini dan yang semakna dengannya
mencakup orang yang menurunkan pakaiannya (isbal) karena sombong atau dengan
sebab lain. Karena Rasulullah SAW mengucapkan dengan bentuk umum tanpa
mengkhususkan. Kalau melakukan Isbal karena sombong, maka dosanya lebih besar
dan ancamannya lebih keras.
Tidak boleh menganggap bahwa larangan
melakukan Isbal itu hanya karena sombong saja, karena Rasullullah SAW tidak
memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan
tadi, sebagaiman juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadist yang
lain.
Beliau SAW menjadikan semua perbuatan
isbal termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan
kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong
maka perbuatannya bisa menjadi perantara menuju ke sana. Dan perantara dihukumi
sama dengan tujuan, dan semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan-lebihan
dan mengancam terkena najis dan kotoran.
Adapun Ucapan Nabi SAW kepada Abu Bakar
As Shiddiq ra. ketika berkata: Wahai Rasulullah, sarungku sering
melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau
bersabda: "Engkau tidak termasuk golongan orang yang melakukan itu karena
sombong." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah
bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian
menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya
karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga) tidak melakukan Isbal.
Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali
dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang
dimaafkan.
Adapun orang yang menurunkannya dengan
sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk
dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan
ketika pakaiannya turun. Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan
Isbal besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.
Maka wajib bagi setiap muslim untuk
berhati-hati terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah ketika
melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan
mengamalkan hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan
karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah adalah
sebaik-baik pemberi taufiq.
[Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah
Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad Da'wah hal 218]
2. Pendapat Yang
Mengharamkan Bila Dengan Niat Riya'
Sedangkan pendapat para ulama yang tidak
mengharamkan isbal asalkan bukan karena riya, di antaranya adalah pendapat
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang yang dengan sukses menulis syarah
(penjelasan) kitab Shahih Bukhari. Kitab beliau ini boleh dibilang kitab syarah
yang paling masyhur dari Shahih Bukhari. Beliau adalah ulama besar dan umat
Islam berhutang budi tak terbayarkan kepada ilmu dan integritasnya.
Khusus dalam masalah hukum isbal ini,
beliau punya pendapat yang tidak sama dengan Syeikh Bin Baz yang hidup di abad
20 ini. Beliau memandang bahwa haramnya isbal tidak bersifat mutlak. Isbal
hanya haram bila memang dimotivasi oleh sikap riya'. Isbal halal hukumnya bila
tanpa diiringi sikap itu.
Ketika beliau menerangkan hukum atas
sebuah hadits tentang haramnya isbal, beliau secara tegas memilah maslah isbal
ini menjadi dua. Pertama, isbal yang haram, yaitu yang diiringi sikap riya'.
Kedua, isbal yang halal, yaitu isbal yang tidak diiringi sikap riya'. Berikut
petikan fatwa Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء
كبيرة, وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا, لكن استدل بالتقييد
في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على
المقيد هنا, فلا يحرم الجر والإسبال إذا سلم من الخيلاء
Di dalam hadits ini terdapat keterangan
bahwa isbal izar karena sombong termasuk dosa besar. Sedangkan isbal bukan
karena sombong (riya'), meski lahiriyah hadits mengharamkannya juga, namun
hadits-hadits ini menunjukkan adalah taqyid (syarat ketentuan) karena sombong.
Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbal tergantung kepada masalah
ini. Maka tidak diharamkan memanjangkan kain atau isbal asalkan selamat dari
sikap sombong. (Lihat Fathul Bari, hadits 5345)
Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah adalah ulama besar di masa lalu yang
menulis banyak kitab, di antaranya Syarah Shahih Muslim. Kitab ini adalah
kitab yang menjelaskan kitab Shahih Muslim. Beliau juga adalah penulis kitab
hadits lainnya, yaituRiyadhus-Shalihin yang sangat terkenal
ke mana-mana. Termasuk juga menulis kitab hadits sangat populer, Al-Arba'in An-Nawawiyah. Juga menulis kitab I'anatut-Thalibin dan lainnya.
Di dalam Syarah Shahih Muslim, beliau
menuliskan pendapat:
وأما الأحاديث المطلقة بأن ما تحت الكعبين
في النار فالمراد بها ما كان للخيلاء, لأنه مطلق, فوجب حمله على المقيد. والله
أعلم
Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwa
semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila
dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa kepada
muqayyad, wallahu a'lam.
والخيلاء الكبر. وهذا التقييد بالجر خيلاء
يخصص عموم المسبل إزاره ويدل على أن المراد بالوعيد من جره خيلاء. وقد رخص النبي
صلى الله عليه وسلم في ذلك لأبي بكر الصديق رضي الله عنه, وقال, " لست منهم
" إذ كان جره لغير الخيلاء
Dan Khuyala' adalah kibir (sombong). Dan
pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang
melakukan isbal) pada kainnya, bahwasanya yang dimaksud dengan ancaman dosa
hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi SAW
telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya
bersabda, "Kamu bukan bagian dari mereka." Hal itu karena panjangnya
kain Abu Bakar bukan karena sombong.
Maka klaim bahwa isbal itu haram secara
mutlak dan sudah disepakati oleh semua ulama adalah klaim yang kurang tepat.
Sebab siapa yang tidak kenal dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumallah. Keduanya adalah begawan ulama sepanjang zaman. Dan keduanya mengatakan
bahwa isbal itu hanya diharamkan bila diiringi rasa sombong.Maka haramnya
isbal secara mutlak adalah masalah khilafiyah, bukan masalah yang qath'i atau
kesepakatan semua ulama. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan
itulah realitasnya.
Pendapat mana pun dari ulama itu, tetap
wajib kita hormati. Sebab menghormati pendapat ulama, meski tidak sesuai dengan
selera kita, adalah bagian dari akhlaq dan adab seorang muslim yang mengaku
bahwa Muhammad SAW adalah nabinya. Dan Muhammad itu tidak diutus kecuali untuk
menyempurnakan akhlaq.
Pendapat mana pun dari ulama itu, boleh
kita ikuti dan boleh pula kita tinggalkan. Sebab semua itu adalah ijtihad.
Tidak ada satu pun orang yang dijamin mutlak kebenaran pendapatnya, kecuali
alma'shum Rasulullah SAW. Selama seseorang bukan nabi, maka pendapatnya bisa
diterima dan bisa tidak.
Bila satu ijtihad berbeda dengan ijtihad
yang lain, bukan berarti kita harus panas dan naik darah. Sebaliknya, kita
harus mawas diri, luas wawasan dan semakin merasa diri bodoh. Kita tidak perlu
menjadi sok pintar dan merasa diri paling benar dan semua orang harus salah.
Sikap demikian bukan ciri thalabatul ilmi yang sukses, sebaliknya sikap para
juhala' (orang bodoh) yang ilmunya terbatas.
Semoga Allah SWT selalu menambah dan
meluaskan ilmu kita serta menjadikan kita orang yang bertafaqquh fid-din, Amin Ya Rabbal 'alamin.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc(http://www.eramuslim.com/ustadz/hds/7304084413-ibnu-hajar-imam-nawawi-vs-bin-baz-tentang-hukum-isbal.htm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar